Rabu, 12 Disember 2012

Mengganjal, Ragu dan 'Malu', itulah Dosa, Hadits Arbain Nomor 27 (Bag 2)



Mengganjal, Ragu dan 'Malu', itulah Dosa, Hadits Arbain Nomor 27 (Bag 2)
Rubrik: Kajian Hadits - Dibaca: 4231 kali
Di antara kandungan hadits Arba’in Nawawiyah yang ke-27 adalah penjelasan tentang al-itsm (dosa). Rasulullah saw mendefinisikan al-itsm sebagai, ”Sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)" (HR Muslim). Dalam riwayat lain beliau saw mendefinisikannya, ”Sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.” (Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan."). Ciri-ciri dosa Penjelasan Rasulullah saw di atas menegaskan bahwa dosa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Terasa mengganjal di jiwa. Ada keraguan di dada. Tidak senang kalau diketahui atau terlihat oleh orang lain, sebab jika orang lain mengetahuinya niscaya mereka mengingkarinya (menganggapnya sebagai suatu yang salah atau buruk). Atau pada hakikatnya hanya ada dua ciri, yaitu terasa mengganjal di jiwa dan ragu di dada oleh yang melakukannya. Dengan kata lain, hatinya sendiri mengingkarinya. Jika hal ini ada pada hati seorang mukmin, cukuplah itu menjadi ciri atau pertanda bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah dosa. Dalam konteks seperti ini maka benarlah pendapat Ibnu Mas’ud ra (wafat 32 H) yang menyatakan, ”Apa yang dilihat oleh orang-orang beriman sebagai kebaikan, maka hal itu di sisi Allah swt adalah baik. Dan apa yang dilihat oleh orang-orang beriman sebagai buruk, maka di sisi Allah swt hal itu adalah buruk” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad).   Jiwa seorang Mukmin Ciri-ciri dan kaidah tentang dosa tersebut tidak berlaku bagi semua hati, jiwa dan dada. Ini hanya berlaku bagi jiwa, dada dan hati orang yang beriman, di mana keimanan telah mendarah daging, merasuk sampai ke relung-relung hati. Sebab, hati seorang yang fasik, ahli maksiat, apalagi kafir dan atheis, atau hati dan jiwa manusia-manusia yang telah rusak fitrahnya, maka bagi mereka berbuat dosa malah menjadi suatu kebanggaan dan tidak ada sedikit pun keraguan atau ganjalan dalam melakukannya. Bahkan, saat diingatkan dan diberitahu tentang dosa suatu perbuatan, mereka bukannya sadar, tapi malah timbul dalam diri mereka rasa ego dan gengsi bahkan kebanggaan dengan dosa-dosa dan maksiat yang dilakukannya, sebagaimana diceritakan dalam QS Al-Baqarah (2): 206. Terkait hal ini, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (736–795 H), ulama yang mengulas hadits Arba’in, berkata, “Hal ini hanya terjadi pada seseorang yang hatinya terbuka dan menjadi tempat bersemayam bagi keimanan.” Yaitu, hati mereka yang telah tenteram dengan keimanan, lapang dadanya karena cahaya ma’rifat dan telah dipenuhi oleh keyakinan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.   Timbul keraguan Keraguan tentang apakah suatu perbuatan itu dosa atau bukan, bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu: Saat tidak ada nash dalam masalah yang dihadapinya. Ada nash, tetapi belum jelas baginya yang manakah yang berkenaan secara tepat dengan kasusnya; apakah nash tersebut 'membolehkan'–berarti halal dan tidak berdosa–ataukah nash tersebut 'melarang'–berarti haram dan berdosa jika ia melakukannya. Dengan kata lain, seseorang masih dalam posisi syubhat. Hal ini perlu ditegaskan sebab segala perkara yang telah dijelaskan oleh nash, maka manusia wajib mengikuti nash itu, apa pun perasaan hatinya, suara jiwanya, kondisi dadanya serta apapun komentar dan tanggapan manusia. Ini karena manusia berkewajiban mengikuti nash dan dalil yang datang dari Allah swt dan Rasul-Nya. Jadi, jika ada dalil atau nash yang menjelaskan riba, zina, mencuri dan semacamnya adalah haram, maka manusia wajib meninggalkannya, tanpa memperhatikan lagi suara hatinya. Dan jika suatu perbuatan dinyatakan oleh dalil/nash sebagai halal, maka harus dilakukan oleh manusia, apa pun perasaan jiwanya. Penegasan ini penting sebab manusia terkadang menolak sesuatu yang jelas-jelas ada dalil atau nashnya. Misalnya rukhshah dibolehkan shalat jama’ (dua waktu digabung menjadi satu waktu, misalnya Zhuhur dengan Ashar, atau Maghrib dengan Isya’) atau qashar (shalat empat raka'at dilakukan dua raka’at saja). Sebagian kaum Muslimin terkadang tidak mau melakukan shalat jama’ dan qashar walaupun ia sedang dalam keadaan sakit atau bepergian. Alasannya, suara hatinya mengatakan itu merupakan dosa atau kesalahan, atau takut pahalanya dikurangi. Padahal jelas yang membolehkan adalah Allah swt, dan Dia senang jika rukhshah (kemurahan-Nya) diterima dan digunakan, sebagaimana Dia juga senang kalau azimah (bukan rukhshah)-Nya diterima dan digunakan. Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, ”Hadits Wabishah dan yang semakna dengannya menunjukkan kewajiban seorang mukmin untuk merujuk kepada hati saat ia dalam posisi syubhat, apa saja yang hatinya merasa tenang terhadapnya, dan dadanya merasa lega, maka hal itu berarti merupakan kebajikan dan halal, dan yang tidak demikian, berarti itu merupakan dosa dan haram.” Selanjutnya Ibnu Rajab juga menjelaskan, ”Jika seorang mufti memberikan fatwa dengan berdasar kepada dalil syar’i, maka wajib bagi seseorang yang meminta fatwa untuk berpegang kepada dalil syar’i itu, walaupun dadanya tidak merasa lega terhadapnya. Yang ini terjadi dalam kasus-kasus rukhshah, seperti tidak berpuasa saat bepergian atau sakit, meng-qashar shalat dan semacamnya, di mana banyak dada orang-orang bodoh yang merasa tidak lega. Ketidaklegaan dalam posisi demikian tidak ada bobot dan nilainya sama sekali.” Rasulullah saw terkadang memerintahkan para sahabat dengan perintah-perintah yang mereka merasa tidak lega dalam menjalaninya. Karena itu kadang mereka menolak perintah beliau saw tersebut. Maka murkalah Rasulullah saw kepada mereka. Singkatnya, jika ada nash, maka tidak ada pilihan bagi seorang Mukmin kecuali menaati Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana penjelasan QS Al-Ahzab (33): 36. Pun perintah Allah dan Rasul-Nya harus diterima dengan lapang dada, tanpa rasa sempit dan pasrah kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan QS An-Nisa’ (4): 65.   Kesimpulannya, yang disebut dosa adalah: Segala sesuatu yang secara nash (dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) dinyatakan sebagai perbuatan dosa. Ketetapan dosa seperti ini tidak perlu lagi melihat perasaan jiwa dan suara hati. Segala sesuatu yang tidak ada nash atau dalilnya, atau ada dalil tetapi ia masih dalam posisi syubhat. Jika demikian halnya, maka untuk menilai apakah itu dosa, hendaklah ia memerhatikan perasaan pribadinya. Jika hatinya mengatakan bahwa hal itu dosa, dan kemudian dikuatkan pula oleh perasaan orang-orang beriman lainnya, maka ia wajib meninggalkannya. Segala sesuatu yang tidak ada nash atau dalilnya, atau ada dalil tetapi ia masih dalam posisi syubhat. Jika demikian, maka untuk menilai apakah hal itu dosa atau bukan hendaklah ia memerhatikan perasaan pribadinya, walaupun suara pribadinya bertentangan dengan suara orang beriman lainnya. Jika ia merasa lebih yakin bahwa suara hatinya lebih tepat, lebih benar dan ia lebih mengerti bahwa orang lain itu tidak tahu kedalaman masalah sebagaimana yang ia ketahui. Wallahu a’lam. (Bersambung)
Share on facebook Share on blogger Share on print Share on favorites More Sharing Services
2
Artikel Sebelumnya
Tentang Kebajikan, Hadits Arbain Nomor 27 (Bag.1)
Berbuat Kebaikan itu Mudah dan Ringan
Keutamaan Shalat Dhuha, Hadits Arba'in Nomor 26 (bag.3)
Bersyukur atas Nikmat Allah

http://www.ummi-online.com/berita-99-mengganjal-ragu-dan-malu-itulah-dosa-hadits-arbain-nomor-27-bag-2.html



Tiada ulasan:

Catat Ulasan