Buya Hamka bersama Ratu Alamsjah Prawiranegara
Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Beberapa waktu lalu, aksi kristenisasi di Indonesia menuai
berbagai kecaman dan meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Masih hangat
di ingatan kita, seorang nenek berjilbab yang sedang berjalan kaki dalam Car
Free Day (CFD), tiba-tiba dijegat dan dipaksa berdoa kepada Yesus oleh
misionaris.[1] Kemudian pada kasus lain, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia
(PGI) tidak menyetujui aturan Polri tentang pemakaian jilbab bagi Polwan.[2]
Tampaknya kristenisasi di Indonesia bak barang bekas yang terus didaur ulang.
Sebab sejak masa penjajahan, negeri muslim terbesar di dunia
ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis
berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato:
“Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk
Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan
menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi
cahayanya di sini buat selama-lamanya. Sebab saya yakin kalau perniagaan di
Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo
dan Mekkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau
tidak berhubungan dengan Portugis.”[3]
Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi
kristenisasi. Alb C Kruyt (Tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf
van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena
semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan
faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan
sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu
menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”[4]
Pemerintah kolonial juga telah mencoba untuk mengatur
perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam
di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.Pada tahun 1937, Pemerintah
kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan
umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta
melarang suami menceraikan istri secara sepihak.
Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam
saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi,
sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang
perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI(Huwelijkes Ordonnantie
Christen Indonesiers), dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia
setelah merdeka.[5]
Momentum kristenisasi di Indonesia terjadi ketika konflik
besar ideologis antara Islam bersama kaum nasionalis melawan komunisme yang
diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Eskalasi konflik ini mampu ditangkap
pihak gereja dengan menawarkan jaminan keselamatan politik bagi mereka yang
menganut Kristen. Sebagaimana diungkapkan oleh Jeff Hammond, misionaris asal
Amerika Serikat yang berkarya di Indonesia.
“Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos (bahasa
Yunani untuk waktu kesempatan) di Indonesia sehingga dalam enam tahun
(1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di pulau Jawa yang menerima Yesus
sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak
gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai
gerakan yang mulai lahir telah berdampk selama tahun 1970-1980-an.”[6]
Aksi-aksi zending dan misi Kristen kala itu dilakukan dengan
memaksakan berbagai jalan serta tipu daya, seperti bujukan dengan uang dan
harta, mulut manis, beras, gula-gula permen dan bonbon agar umat Islam menukar
agamanya dengan agama Kristen.[7]
Upaya penyiaran Kristen atau memurtadkan umat Islam itu
dengan jelas dinyatakan oleh seorang zending Kristen bernama Dr.Sijabat yang
mengatakan bahwa objek yang hendak dikristenkan itu tidak lain memanglah umat
Islam Indonesia sendiri.[8] Akibat kristenisasi, ketegangan antar umat Islam
dan umat Kristen pun tak terhindarkan.
Di Makassar, seorang guru beragama Kristen memuntahkan
kata-kata nista kepada murid-muridnya yang mayoritas muslim. Dia katakan, “Nabi
Muhammad SAW adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan
tolol. Sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.” Akibatnya pada malam 1
Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh
para pemuda Islam.[9] Sungguh aksi pemuda Islam ini melukai orang Kristen dan
kita sesali kejadian yang tidak baik itu.
Namun Tokoh Masyumi, M.Natsir memandang hendaknya persoalan
ini tidak dilihat secara symptomatis approach, yaitu dengan hanya melayani
gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas
diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu.
Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya
suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif
tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang
beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan
intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang
serius. [10]
Apabila guru Kristen tadi tidak memancing-mancing dengan
menghina Nabi Muhammad SAW di depan murid-muridnya yang kebanyakan muslim,
tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu. Kalau merusak gereja,
memang ajaran Islam, sudah lamalah beratus-ratus gereja di Makassar dirusak.
Namun puluhan tahun sebelum pemuda tadi merusak, telah banyak gereja-gereja
berdiri di tengah kota Makassar.
Kemudian aksi kristenisasi di Meulaboh, Aceh yang 100%
penduduknya Islam, kaum Kristen mendirikan gereja. Di Toba, mereka berpindah ke
daerah kampung-kampung orang Islam, lalu mereka melepaskan babi dan membakar
anjing untuk dimakan. Lantaran merasa jijik, orang Islam itu lari meninggalkan
kampung halamannya. Akibatnya, langgar-langgar menjadi sepi, dan gereja-gereja
banyak berdiri.
Di Sumatera Barat, ratusan orang zending Kristen berkedok
jadi penjual kain. Lalu terjadi kekacauan –kekacauan yang tidak diinginkan.
Akhirnya, pemerintah daerah terpaksa mempersilahkan mereka pulang saja ke
kampung halamannya.
Di Bukittinggi, dengan topeng mendirikan rumah sakit, mereka
mempropagandakan agama Kristen. Masyarakat Bukittinggi yang dipimpin
ninik-mamak dan ulama keberatan dengan hal itu. Kemudian menteri agama melarang
pembangunan gereja di dalam rumah sakit itu demi menjaga keamanan.
Setelah keluar larangan Menteri Agama, tiba-tiba dalam masa
beberapa Minggu saja, keluarlah maklumat dari pihak Tentara di Bukittinggi,
bahwa tentara mengizinkan Baptist membangunan rumah sakit dengan segala
fasilitasnya, termasuk gereja, di atas tanah milik militer. Jelas sekali bahwa
Baptist yang dipimpin oleh warga negara Amerika itu telah mengadu domba
Kementerian Agama dan Militer.
Kemudian di Pulau Banyak. Sudah puluhan tahun orang Aceh di
Pulau Banyak dan orang Nias di Pulau Nias hidup berdampingan secara damai.
Banyak orang Nias yang beragama Kristen datang ke Pulau Banyak, mencari penghidupan
di sana. Dan tidak ada gangu mengganggu.
Namun, program zending dan misi mengacaukan kedamaian itu.
Akibatnya, kedatangan mereka menjadi agresif. Mereka menyerbu wilayah Pulau
Banyak dan memaksakan kehendak untuk mendirikan gereja di atas tanah umat Islam
yang jumlahnya 90% itu. Mereka seakan-akan menjadi tuan di pulau itu.
Ulama Besar Aceh, Teungku Daud Beureueh lalu menegur cara
curang mereka. Kemudian ributlah surat-surat kabar Kristen memutar balikkan
duduk persoalan. Mereka kampanye bahwa orang-orang Aceh mengusir orang-orang
Kristen dari Aceh. Di Ambon, kaum Kristen leluasa membakar kedai-kedai dan
toko-toko orang Islam. Di Flores, beberapa pemimpin dan pemuka Islam
hilang.[11]
Ketegangan juga terjadi di pemerintahan. Menghadapi wabah
kristenisasi tadi, pada tahun 1967, Presiden Soeharto menganjurkan
pemimpin-pemimpin agama mengadakan musyawarah untuk menciptakan kerukunan antar
umat beragama. Dibuatlah oleh Presiden Soeharto sebuah piagam yang isinya
mengatur pelaksanaan dakwah agar tidak terjadi bentrokan.
Di antara draft konsep piagam itu disebutkan agar penyebaran
satu agama tidak ditujukan pada orang yang telah menganut agama lainnya. Dan
supaya bantuan-bantuan untuk organisasi agama yang datang dari luar negeri,
diketahui oleh pemerintah.
Kedua isi piagam itu disebabkan oleh propaganda Kristen yang
selalu ditujukan pada orang Islam. Sehingga orang Islam merasa resah dan
terganggu oleh propaganda itu. Juga karena dana propaganda Kristen masuk ke
Indonesia dari sumber-sumber di luar negeri yang berlimpah tanpa sepengetahuan
pemerintah.
Namun, pihak Kristen dengan sangat arogan menolak piagam
itu. Mereka dengan terus terang mengatakan penyebaran agama Nasrani kepada
orang Islam adalah sebagai missi suci.
M. Natsir yang turut hadir dalam musyawarah itu kemudian
menyatakan bahwa bagi umat Islam, dakwah Islam juga suatu missi yang suci.
“Kalau orang Kristen karena missinya tak mau tunduk aturan,
kami pun boleh melakukannya. Kalau kami mati untuk itu, kami syahid, akan
tetapi negara dan bangsa Indonesia akan hancur,” tangkis perdana menteri
pertama Indonesia ini.
Karena musyawarah tak bisa diteruskan. Akhirnya Menteri
Agama Alamsyah berdasarkan pada seruan Presiden Soeharto itu, mengeluarkan dua
buah Surat Keputusan yang bernomor 70 dan 77. Kedua surat keputusan menteri
agama itu berisi peraturan penyebaran agama. Masing-masing orang tidak boleh
dengan secara leluasa memurtadkan orang dari agama yang telah dianutnya apalagi
dengan bujukan uang dan beras.
Tidak boleh pula ada bantuan luar negeri kepada badan-badan
agama, kecuali dengan izin pemerintah. Surat keputusan menteri agama itu
disetujui oleh Presiden Soeharto dan anggota-anggota kabinet seluruhnya. Namun
pihak Kristen dan Katholik menentangnya dengan keras.
Semua organisasi Kristen mengeluarkan bantahan. Dewan
Tertinggi Gereja Katholik dan Protestan mengeluarkan buku putih menuduh Menteri
Agama Alamsyah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Koran-koran mereka setiap
hari melancarkan kritik kepada menteri agama. Meskipun demikian pemerintah
Indonesia, terutama Soeharto sendiri menyatakan bahwa surat keputusan menteri
agama itu juga keputusan pemerintah.
Mendengar keputusan pemerintah itu, orang Kristen dan
Katholik untuk sementara waktu berdiam diri. Akan tetapi dengan secara rahasia
mereka mengatur siasat. Mereka memanggil ahli-ahli hukum Kristen untuk menyusun
konsep menuntut Menteri Agama Alamsyah ke muka mahkamah. Kemudian mereka
mengadakan kampanye secara besar-besaran menyambut hari “Hak Asasi Manusia”
yang jatuh setiap tanggal 10 Desember.
Menurut pihak Kristen, Menteri Agama Alamsjah telah
melanggar HAM. Puncak dari kampanye menentang agama itu pada waktu hari Natal
saat itu.[12]
Setahun kemudian, pada tahun 1968, dalam pidato di muka
DPR-GR, Soeharto sekali lagi memberikan peringatan. Beliau tegaskan,” Oleh
karena itu praktik-praktik penyebaran agama dengan paksaan atau tipu daya
adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Orang yang merasakan bahwa
agamanya terdesak, sebenarnya orang yang lemah imannya dan kurang mengamalkan
ajaran agama itu sebaik-baiknya.”[13]
Demi menjaga stabilitas antar umat Islam dan Kristen, muncul
perintah yang menggelikan dari beberapa orang Kepala Jawatan dan juga beberapa
orang Menteri Kabinet Pembangunan, yaitu menyatukan peringatan hari lebaran
idul fitri dan natal menjadi lebaran natal.
Seperti diketahui, tahun 1968 adalah tahun yang unik di
Indonesia. Sebab umat Islam berhari raya idul fitri sampai dua kali, yaitu 1
Januari dan 21 Desember 1968. Secara panjang lebar, dalam buku Dari Hati ke
Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Buya Hamka mengisahkan situasi saat
itu:
Dalam sambutan peringatan hari lebaran natal itu, Kepala
Jawatan atau Menteri, atau Jenderal menyampaikan demi kesaktian Pancasila yang
wajib kita amalkan dan amankan dalam lebaran natal ini, kita menanamkan dalam
hati kita sedalam-dalamnya tentang arti toleransi. Dan diaturlah acara
mula-mula membaca Al-Qur’an oleh seorang pegawai yang pandai mengaji.
Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau Pastor yang
sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan
dengan kelahiran ‘Tuhan’ Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah
yang Tunggal, tetapi dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke dalam
tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.
Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan lebaran
natal itu adalah orang-orang Islam daripada orang-orang Kristen. Orang Islam
diharuskan mendengarkan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Alah beranak, dan
Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar
tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang. Padahal mereka diajarkan oleh
pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Qur’an
bukanlah kitab suci, melankan buku karangan Muhammad saja.
Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur
mendengarkan Al-Qur’an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan
Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan
hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian
datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi,
demi kesaktian Pancasila!
Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca
do’a, seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam
diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual.
Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do’a-do’a hari natal. Dan semua orang
Islam berdiam diri saja, dan kita pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.
Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka
kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan
oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima.
Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi akhir zaman,
penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keteragan
orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau tidak diterima kita tidak Kristen
lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris
Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini
dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.
Telinga orang islam muntah mendengarkan.
Bertambah mendalam orang-orang beragama itu meyakini
agamanya, bertambah muntah telinganya mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang
bertentangan dengan pokok akidah agamanya.
Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan
bahwa do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran
Islam. Do’a demikian pun tidak akan dapat diterima karena do’a adalah ibadah
dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah yang satu,
yang tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedankan Pastor dan Pendeta akan berdo’a
kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.
Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang
Islam berdo’a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor
berdo’a kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” [14]
Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya
Hamka mengingatkan,” Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam
menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang
memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang
Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong
musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah
aqidah tauhid kita,” tegasnya dengan suara lantang.[15]
Itulah sikap Buya Hamka mengenai lebaran natal ini, yang
berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang ketika itu Buya
Hamka sendiri menjadi ketuanya, bahwa natal dan idul fitri bersama haram
hukumnya. Pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa
itu dicabut. Namun Buya Hamka memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI.
Bagaimana sebenarnya Buya Hamka menghadapi permintaan pemerintah sampai
akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua MUI?
Berikut penuturan anaknya, Rusydi Hamka dalam buku yang
berjudul Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr.Hamka:
Setelah ayah bersama pimpinan harian MUI menghadiri
pertemuan dengan Menteri Agama Alamsyah di Departemen Agama, baju kaos Ayah
agak basah karena keringat dan wajahnya tampak murung. Berceritalah dia tentang
kehebohan fatwa MUI. ‘Ada ketegangan antara MUI dengan Menteri Agama, tapi tadi
bisa didinginkan… Tampaknya MUI akan sulit mengeluarkan fatwa-fatwa lagi
nanti.’
Tiba-tiba saat kami sedang berbicara, Sekretaris Harian MUI
Mas’udi masuk. Setelah duduk mendengarkan cerita ayah dan saya, Mas’udi dengan
wajah sedih bercerita bahwa dia telah menerima surat keputusan, dia ditarik
dari kedudukannya sebagai sekretaris MUI gara-gara menyiarkan fakta itu.
Ayah terkejut mendengarnya. Setelah melihat surat itu, dia
lalu menyuruh saya membacanya keras-keras.
Tiba-tiba ayah berdiri, mengambil telepon minta bicara
dengan Menteri Agama. Jawabannya beliau tidak ada di tempat.
‘Kalau begitu saya mau bicara dengan Sekjen,’ ujar ayah
lagi.
Setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung
dengan Pak Sekjen Ali Siregar. Saya tak tahu apa jawanban dari Sekjen
Departemen Agama itu di seberang sana, yang saya dengar ialah suara ayah karena
saya berada di situ.
‘Saudara kan tahu, soalnya sudah selesai, saya sudah bilang
tadi kepada Menteri bahwa beredarnya fatwa itu adalah tanggung jawab saya. Dan
saya pun sudah menyatakan bahwa sayalah yang menerima akibat peredaran itu.’
Telepon diletakkan dengan keras, lalu ayah kembali ke tempat
duduknya dengan menggelengkan kepalanya.
‘Apa jawabannya?’tanya saya
Menyusul Pak Hasan Basri masuk ruangan. Merek masih
menceritakan pertemuan dengan Menteri dan soal Mas’udi. Ayah dengan suara
mantap berkata ‘Hati saya sudah patah.’
Kemudian Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh saya jam
itu menemui Duta Besar Irak. ‘Bilang padanya supaya undangan ke Irak diundur
bulan depan. Tiketnya dibatalkan saja. Kalau dia bertanya alasan pengunduran,
bilang saja ayah sakit,’ Saya pun berangkat mengikuti perintahnya.
Hari-hari berikutnya saya membaca pernyataan Majelis Ulama
yang ditandatangani oleh Ayah sebagai Ketua Umumnya dengan Sekretaris Jenderal
Burhani Tjokrohandoko yang mencabut beredarnya fatwa Majelis Ulama soal natal
itu.
Tapi besoknya saya disuruh mengantar release yang dibuat
atas nama pribadi ayah sendiri ke koran-koran , isinya menegaskan bahwa
pencabutan itu tidak berarti bahwa fatwa itu batal. Fatwa itu sah, yang dicabut
hanyalah peredarannya.
Tanggal 18 Mei 1981, ketika saya sedang bekerja di kantor
Panji Masyarakat. Ayah menelpon menyuruh saya datang. Sehari sebelumnya ayah
baru kembali dari Medan. Saya kira bakal ada oleh-oleh dari Medan untuk
cucu-cucunya. Tapi saya dapati ayah sedang duduk menghadapi mesin tiknya. Dia
tersenyum ke arah saya, ‘Ayah sudah mengambil keputusan.’
Saya tahu keputusan itu ialah yang menyangkut Majelis Ulama,
tapi saya belum tahu bagaimana cara yang bakal di tempuhnya.
‘Sebentar lagi ada rapat pimpinan harian di kantor Majelis
yang baru di Istiqlal. Inilah rapat pertama di kantor itu dan ini pula pertama
kali ayah melihat kantor itu. Tapi kedatangan ayah ke sana juga untuk terakhir
kalinya,’ ujarnya dengan wajah berseri-seri.
‘Jadi ayah sudah berhenti?’ tanya saya mengingatkan
saran-saran yang melarang dia berhenti.
‘Soalnya sudah lain, sadang lamak beranti (sedang enak
berhenti),’ katanya dengan nada humor. Tapi jelas dari wajahnya bahwa dia
merasakan bahagia pagi itu. Saya tak dapat menahan haru, lalu saya
merangkulnya. Saya menangisinya dan ayah menenangkan saya. Setelah menuntun
tangannya ke kursi, ayah bercerita tentang Imam Malik pada saya.
Saya kembali ke meja tulis membaca selembar surat di atas
meja yang baru saja selesai dikarangnya. Dan ayah sudah siap hendak ke Masjid
Istiqlal membawa dan akan membacakan surat itu. Inilah bunyinya:
Bismillahir Rahmaanir Rahim
Menteri Agama H.Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis
Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang lalu telah menyatakan kecaman atas
tersiarnya fatwa MUI. Dalam kecamannya itu H. Alamsyah telah menunjukkan
kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dudukannya sebagai Menteri
Agama.
Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan:Bukan
Beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dan
saya bertanggung jawab atas tersiarnya Fatwa yang membuat Menteri Agama mau
mengundurkan diri itu.
Karena anggapan bahwa Majelis Ulama masih diperlukan adanya
di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka
saya pun menandatangani surat Keputusan Pencabutan peredaran itu dengan
pengertian bahwa nilai Fatwa itu tetap shah sebagaimana yang telah diputuskan
oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi akan shahnya
isi Fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar.
Namun demikian saya berharap pula kerja sama yang lebih baik antara ulama dan
umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui pimpinan Majelis Ulama
setelah saya meletakkan jabatan.
Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang memilih
saya melalui Munas MUI tahun 1980 yang lalu. Terimakasih.
“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api
yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat,” ucap Buya Hamka dalam pidato
pelantikannya sebagai Ketua MUI di Gedung Sasono Langen Budoyo Taman Mini
Indonesia pada 27 Juli 1975.[17]
“Kue bika” itu begitu teguh berjuang. Alangkah bebas dan
merdeka jiwanya. Betapa mantap pada diri sendiri dan yakin pada jalan hidup
yang telah dipilihnya. Sungguh tak bersyukur bila kini kita khianati fatwanya.
[1] Lihat https://www.youtube.com/watch?v=QUw11Tk6VnU
[2]
www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/12/ngghxd-ketua-pgi-tak-setuju-penerapan-jilbab-bagi-polwan
[3] Dikutip Buya Hamka, Dari Hati ke Hati
Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2002, hlm.104
dari K M Panikkar, Asia and Western Domininge terjemahan bahasa Arab hlm.
42-1968
[4]Kata Pengantar Adian Husaini dalam Susiyanto, Strategi
Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa, Cakra Lintas Media:Jakarta, 2010, hlm x
yang dikutip dari Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES:Jakarta,
1985, hlm. 26
[5] Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened:
Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, ISIM Amsterdam University
Press:Leiden, 2006
[6] Jeff Hammond, Transformasi-Kairos Bagi Indonesia dalam
Niko Njotohardjo (et.al), Transformasi Indonesia; Pemikiran dan Proses
Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus, Metanoia:Jakarta, 2003,
hlm.26 dalam Arif Wibowo, Kristenisasi Indonesia dari Masa ke Masa,
INSISTS:Jakarta, 2014, hlm.7
[7] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,
Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.165
[8] Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan
Sekularisasi, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2003, hlm.1
[9] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama
,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 159
[10] M.Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Peladjar dan
Bulan Sabit:Bandung, 1969, hlm. 189
[11] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama
,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 165-167
[12] Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan
Sekularisasi, Ibid, hlm. 55-58
[13] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama
,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 168
[14] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama
,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.208-210
[15] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka,
Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 192
[16] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka,
Ibid, hlm.193-196
[17] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka,
Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 181
https://www.islampos.com/di-balik-fatwa-haram-natal-bersama-154351/