Ahad, 21 Februari 2016

SaHaBaT


Allah aturkan antara kita 1 pertemuan di tetapkan DUA hati..
Dalam DUA hati di berikan TIGA rasa..
Iaitu.. Sayang.. Kasih.. Kasihan..
Dalam 3 rasa itu di selitkan 4 tujuan..
Iaitu... Berkenalan.. Berteman.. Berkawan.. Bersama..
Dalam 4 tujuan itu tersembunyi 5 perkataan..
Iaitu.. Teman Baik Selalu Ada di Sisi...
Dalam 5 perkataan itu tersembunyi 6 Impian..
Iaitu.. Sayang.. Kekal.. Setia.. Mengerti.. Menghargai.. Mengingati..
Dalam 6 impian itu tersimpul 7 huruf keramat..
Iaitu.. ” S. A. H. A. B. A. T. ”
Sahabat perlu di kasihi....Bukan untuk di sakiti..
Perlu di sayang....Bukan di benci
Perlu di hormati....Bukan di kasari
Perlu di pegang....Jangan di buang
Perlu di hargai...Jangan di musuhi
Tempatnya di hati....Bukan di kaki
Selemah-lemahnya manusia ialah orang yang tak mahu mencari sahabat ...
Dan orang yang lebih lemah dari itu...
Ialah orang yang mensia2kan sahabat yang telah di cari...
PERSAHABATAN BAGAIKAN SEKOTAK CRAYON.. BERBEZA PENUH WARNA..
T E T A P I... JIKA MEREKA BERSAMA...
MEREKA DAPAT MEMBUAT PELANGI YANG INDAH.......
itulah
S A H A B A T...Khas buat sahabat semua .

Rabu, 17 Februari 2016

TAREKAT QADIRIYAH

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.

Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.

Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.

Bai’at

Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.


Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.

Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.


Tarekat Qodiriyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika di antaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.

[Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.

Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.

Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh Tolhah bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon. Selanjutnya Dia disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun ,dia mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal ) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin ( dalam silsilah urutan ke 35 ). Selanjutnya Pondok Pesantren suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Thoreqat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Dengan demikian , Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra. dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke 36 setelah Syaikh Tholhah bin Talabudin ra.

Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-muridnya) lebih dikenal dengan panggilan "Abah Sepuh".karena usia dia memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-murid dia ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinan dia. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5 yaitu KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian dia, oleh karena itu para ikhwan tarekat memanggil dia "Abah Anom " (Kyai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin ( Abah Anom) sampai sekarang, dia mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Islam di Indonesia
Wali Songo
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
Allah-green.svg Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.





Jumaat, 12 Februari 2016

NASIHAT SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani atau nama sebenar beliau ialah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir. Beliau adalah keturunan Rasulullah SAW melalui puteri Baginda Siti Fatimah Al-Zahra. Beliau adalah seorang ahli sufi yang tidak asing lagi di dunia islam, sehinggakan terdapat satu aliran Tariqat yang diasaskannya iaitu Tarikat Qadariah. Tulisan, nasihat dan buah fikiran beliau berkenaan dengan ketuhanan dan tasawuf sentiasa mendapat perhatian dan menjadi rujukan walaupun ianya telah berlalu lebih kurang 900 tahun yang lampau. Sama-samalah kita hayatinya dan semoga kita semua dapat mengambil sedikit pengajaran daripada tulisan ini.

TUNDUKKAN NAFSUMU SEBELUM ENGKAU DITUNDUKKANNYA.
(disampaikan di Madrasah al-Ma’murah,hari Ahad pagi,3 Syawal 545 H)

Sesungguhnya, siapa yang ingin memperbaiki dirinya, maka hendaklah dia berlatih memerangi nafsunya, sehingga dirinya bebas daripada cengkaman nafsu kerana seluruh nafsu itu mengajak kepada kejahatan.

Hai pemuda…! Nasihatilah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kamu menasihati orang lain.
Janganlah engkau berlebih-lebihan dalam menasihati orang lain sedangkan dalam dirimu sendiri masih bersemayam sesuatu yang engkau perlu perbaiki
Celakalah engkau…! Sekiranya engkau tahu bagaimana membersihkan orang lain, sedangkan engkau buta untuk membersihkan dirimu sendiri. Bagaimana seorang yang buta dapat memimpin orang lain.

“Wahai hati…! Wahai roh…! Wahai manusia..! Wahai jin…! Wahai orang-orang yang berharap kepada Maha Raja..! Marilah kita ketuk pintu Maha Raja. Bersegeralah kamu kepada-NYA dengan tapak hatimu, dengan tapak takwa dan tauhid kamu, makrifat dan kewarakan kamu yang tinggi, kezuhudan kamu di dunia, di akhirat dan didalam sesuatu selain daripada yang berkaitan secara langsung dengan Tuhanmu”.

Ketahuilah…! Bahawa taubat itu adalah pusat kekuasaan dan menyesali segala perbuatan. Tanggalkanlah baju kederhakaanmu itu dengan taubat yang tulus ikhlas. Jika engkau bertaubat, hendaklah taubat itu lahir dari hatimu, bertaubatlah engkau zahir dan batin.

SEGERA MENCAPAI PINTU TAUBAT-(Ahad,10 Syawal 545 H)
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, maka hendaklah dia mencapainya, kerana sesungguhnya ia tidak mengetahui, bila pintu itu akan tertutup baginya”
Wahai pemuda. “Bertaubatlah kamu. Bukankah kamu telah melihat, bahawa Allah akan menguji kamu dengan berbagai dugaan hingga kamu bertaubat…? Sementara engkau tidak berfikir, mlahan engkau bertahan dalam kederhakaanmu itu.

-SAQJ berkata : “Tetaplah engkau untuk sentiasa redha dengan Allah, dalam keadaan petaka atau sengsara, dalam keadaan miskin atau kaya, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan sihat atau sakit, dalam keadaan buruk atau baik, ketika memperoleh yang engkau kehendaki atau tidak. Aku tidak tahu ubat apa yang sesuai untukmu, selain daripada menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang Al-Haq. Jika dia menetapkan sesuatu yangmerugikan kamu, janganlah kamu benci kepada-NYA serta jangan pula kamu menjauhkan diri daripadanya.Kerana semua itu adalah ujian dan cubaan terhadapmu.

-jika sedar dan berubah,pasti Allah menukarkan kegelisahmu dengan ketenangan dan jiwamu akan menjadi tenang,tenteram dalam mentauhidkan-Nya.

Jika Al-Haq menghendaki agar hambanya menjadi baik, maka Dia akan memberikan Hidayah, mengajar mereka, mengawasi mereka, menerangi mereka, memberikan kesempatan kepada mereka, mendekatkan mereka kepada-Nya dan memberikan sinar kedalam hati mereka.

Celakalah kamu, kamu membaca dan menghafal sunnah Rasulullah, tetapi kamu tidak mengamalkannya. Engkau menyuruh manusia mengerjakan kebaikan sedangkan engkau sendiri tidak melakukannya.
Seperti Firman Allah SWT dalam surah Al-Shaf ayat 3 yang bermaksud :
“Sebesar-besar kebencian Allah, ialah bahawa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”

Sesiapa yang telah beramal sehingga kemudian mereka mencapai satu kedudukan(maqam) dimana tiada lagi perintah ataupun larangan. Tidak henti-henti mereka menyendiri(khalwat) bersama ALLAH. Kerana meninggalkan ibadah-ibadah wajib, bermakna seorang itu telah jatuh Zindiq. Tidak ada kewajipan yang gugur dari seseorang, walau dalam keadaan bagaimana juapun dia, atau apa pun tahap dan maqamnya.

Wahai kaumku, Ambillah nasihat dari Al-Quran itu dengan mengamalkannya, bukan dengan mendiskusi, memperdebat, atau menseminarkannya.

“Tidak akan ada kebahagiaan di hatimu, apabila disana bersemayam sesuatu selain Allah, bahkan seandainya kamu sujud selama seribu tahun diatas bara api sekalipun, sementara hatimu kepada selain Allah, maka hal itu tidak bermanfaat kepadamu.

Hati..! Hatilah yang beriman…! Hatilah yang mengesakan Allah…! Hatilah yang memurnikan aqidah..! Hatilah yang ikhlas…! Hatilah yang bertakwa…! Hatilah yang memelihara diri daripada yang Haram dan Syubhat…! Hatilah yang yakin…! Hatilah yang zuhud…! Hatilah yang arif…! Hatilah yang beramal…! Hatilah yang memimpin seluruh tubuh manusia, sementara seluruh anggota adalah anggota pasukan dan pengikutnya. Oleh itu, jika kamu ingin menyucapkan LAILA HAILLALLAH, maka lebih dulu hendaklah kamu ucapkan dengan hatimu, kemudian kamu iringinya dengan lidah.

Jihad Batin – Lebih berat dari jihad zahir kerana jihad batin adalah satu jihad yang berterusan. Bermaksud memutuskan semua kehendak dan dorongan hawa nafsu untuk melakukan perkara-perkara yang terlarang serta mengekang keinginan terhadapnya.

Wahai hamba…! Setiap yang engkau pandang sebagai kebaikan dan engkau mencintainya, maka cintamu itu adalah bukan cinta yang sejati. Engkau sedang terpedaya. Cinta yang hakiki adalah cinta yang tidak berubah, iaitu cinta kepada Allah, yakni cinta yang engkau lihat dengan dua mata hatimu, iaitu cinta para Al-Shiddiqin Ruhaniyyin. Mereka tidam menyintai dengan keimanan mereka, tetapi dengan keyakinan dan mata hati mereka. Terbukalah hijab yang menyelubungi mata hati mereka, sehingga mereka mampu melihat apa yang ada di alam ghaib, melihat sesuatu yang tidak mungkin bagi mereka untuk menjelaskannya.

Seorang yang berzuhud dan berada pada tahap permulaan, mesti menghindarkan diri daripada semua manusia dan orang-orang fasiq yang melakukan maksiat. Tetapi setelah mencapai tahap kesempurnaan, dia tidak akan menghindarkan,diri bahkan dia akan mencari mereka kerana penawar mereka itu ada padanya. Kerana apabila seseorang itu telah mengenal Allah, dia tidak akan menghindar dari sesuatu apapun dan tidak akan takut selain daripada Allah. Barangsiapa yang sudah sempurna ma’rifatnya kepada Allah, maka ma’rifat itulah yang akan menjadi pemandu baginya.

Seseorang bertanya kepada Syeikh bagaimana untuk mengeluarkan cinta kepada dunia.
“Hendaklah engkau melihat dengan kedua-dua mata hatimu kepada cacat-cela dunia ini. Perangilah hawa nafsumu hingga ia menjadi tenang. Jika nafsumu telah tenang, maka engkau akan mampu melihat cacat-cela dunia ini dan kamu akan bersikap zuhud terhadap dunia ini. Ketenangan itu akan wujud jika engkau memandang dari hati dan menyesuaikannya dengan bisikan batinmu.

“Jika engkau menginginkan kema’rifatan kepada Allah, maka engkau redhalah dengan qada dan qadar-Nya, dan janganlah engkau jadikan nafsu, syahwat, perangai, dan keinginanmu sebagai sekutu bagi-Nya dalam kedua-dua hal tersebut.”

Ketahuilah bahawa para guru amal dan guru ilmu akan menunjukkan engkau jalan menuju Allah. Langkah tahap pertama ialah dengan perkataan, dan pada tahap kedua ialah dengan mengamalkannya. Dengan cara ini, engkau akan bertemu dengan Allah.

Beramallah engkau kepadanya dan janganlah engkau mengharapkan pahala yang banyak. Beramallah dengan tujuan untuk mencapai dan meraih keredhaannya serta kedekata kepadanya. Pahala adalah keredhaan-Nya kepadamu dan kedekatanmu kepada-Nya dunia dan akhirat.

Peringkat pertama ialah engkau belajar kepada makhluk berkenaan hokum. Kemudian pada peringkat kedua hendaklah engkau belajar dari Khaliq mengenai ilmu Ladunni, Yakni ilmu-ilmu yang khusus untuk hati dan batin. Oleh itu carilah guru yang mursyid, kerana engkau tidak dapat belajar tanpa guru.

Barangsiapa di antara kamu yang ingin menghidupkan hatinya, maka hendaklah dia membiasakan berzikir kepada Allah di dalam hatinya itu dan hendaklah dia merasakan ketenteraman bersama-Nya. Wahai hamba…! Berzikirlah engkau kepada Allah dengan hatimu sebanyak seribu kali dan dengan lisanmu sekali.

Berzikir yang dilakukan hanya dengan lisan tanpa menggunakan hati, tidak memberikan kemuliaan kepadamu.
Zikir adalah zikir hati dan zikir batin, kemudian zikir lisan. Berzikirlah kamu kepada-Nya, sehingga zikir itu melebur dosa-dosamu, dengan demikian engkau tidak menanggung dosa sama sekali.


Khamis, 11 Februari 2016

BERDZIKIR DENGAN JARI TANGAN KANAN


Yang disunnahkan dalam berdzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan:
“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, ia berkata: ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya.’” (Hadits Shahih, riwayat Abu Dawud no. 1502, dan at Tirmidzi no. 3486, Shahiih at Tirmidzi III/146 no. 2714, Shahiih Abi Dawud I/280 no. 1330, al Hakim I/547, al Baihaqi II/253).

Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat wanita menghitung: Subhanallah, Alhamdulillah, dan mensucikan Allah dengan jari-jari, kerana jari-jari akan ditanya dan diminta untuk berbicara (pada hari Kiamat). (Hadits Hasan, riwayat Abu Dawud no. 1501, dan at Tirmidzi. Dihasankan oleh Imam an Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani).

(Dikutip dari: Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dzikir Pagi dan Petang dan Sesudah Shalat Fardhu, Penerbit Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan pertama, Desember 2004 M, hal. 47).

Tidak ada dalil shahih yang menerangkan bahawa Rasulullah Shallallahu ’alayhi wa Sallam berdzikir menggunakan subhah (kalung biji-bijian), dalam masyarakat kita disebut tasbih kerana digunakan untuk bertasbih.

Menurut petunjuk Nabi Shallallahu’ alaihi wa sallam berdzikir itu dihitungnya dengan tangan bukan dengan biji-bijian tasbih. Dan menurut hadist Abdullah bin Amr bahawa Nabi Shallallahu’ alaihi wa sallam menghitungnya dengan tangan kanannya bukan dengan kedua tangannya (kanan dan kiri).

Dari itu Muhammad Nashirudin Al Albani rahimahullah mengatakan : “Bertasbih dengan kedua tangan menyalahi Sunnah!”

Sesuaikah kita berdzikir dengan tangan kiri yang dipergunakan untuk mencuci kotoran?

Detailnya lihat As-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha tulisan asy-Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah yang telah diterjemahkan di antaranya dengan judul Tasbih Bid’ah atau Sunnah? (Pustaka Salafiyah, 2004).

Berikut ini tambahan artikel tentang dimakruhkannya penggunaan biji-biji tasbih.

Tulisan ini dikutip dari majalah assunnah...

© Menggunakan alat tasbih untuk zikir
Menggunakan alat tasbih adalah bid’ah. Menurut sunnah sebagaimana yang selalu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam lakukan adalah berzikir dengan menggunakan tangan kanannya.
Banyak Atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahawa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Di antara atsar tersebut adalah:

# Atsar Aisyah, Iaitu ketika melihat seorang wanita dari Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata: Mana jarimu? (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no.7657, dalam sanadnya terdapat jahalah (orang yang tidak diketahui))

# Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata : Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata: Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah? (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no.7667 dengan sanad yang shahih)

# Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata : Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata: Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa An Nahyu ‘Anha, hlm.12 dengan sanad yang shahih. Juga ada inqitha’, karena Ash Shalat tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud)

# Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantung mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata: Kamu telah melakukan bid’ah yang dzalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi. (Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa An Nahyu ‘Anha, hlm.11 dengan sanad yang shahih. Juga ada inqitha’, karena sayyar tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud)

# Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kufah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. (Riwayat selengkapnya, lihat sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no.206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits no.2005)

Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras.

KESIMPULAN
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah menggunakan alat tasbih dalam menghitung dzikirnya; dan ini merupakan sunnah yang harus diikuti. Seandainya menggunakan tasbih merupakan kebaikan, niscaya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan yang pertama sekali melakukannya.

Oleh sebab itu, orang yang faham dan berakal tidak akan menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menghitung dzikir dengan jari tangannya, menggantinya dengan hal-hal yang bid’ah, yaitu menghitung dzikir dengan tasbih atau alat penghitung lainnya. Inilah yang disepakati oleh seluruh ulama pengikut madzhab, seperti yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Alangkah indahnya pesan Imam Asy Syafi’i: Kami akan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam baik dalam melakukan suatu ibadah atau dalam meninggalkannya.’ Abdullah bin Umar menambahkan: Semua bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.

Allahu a’lam


Semoga Allah Tabaraka Wa Ta’ala menambahkan kepada kita semua ilmu yang haq dan memudahkannya untuk memahaminya.

Isnin, 8 Februari 2016

Perbanyaklah Zikir Membaca “Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim”

“Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim”, Artinya “Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah yang Maha Agung.”
Zikir dengan menggunakan lafal “Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim” merupakan salah satu kalimat yang banyak dianjurkan di dalam hadits-hadits Nabi saw, antara lain sebagai berikut:
1) Rasulullah Saw bersabda : “Dua kalimat yang ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan, dan disukai oleh (Allah) Yang Maha Pengasih, yaitu kalimat subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘Azhim (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung).” (HR Bukhari 7/168 dan Muslim 4/2072);
2) Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan kepada Allah SWT adalah kalimat subhanallah wa bihamdihi.” (HR Muslim dan Tirmidzi).
3) Diriwayatkan dari Abi Dzar. Rasulullah pernah ditanya, “Perkataan apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang dipilih oleh Allah bagi para malaikat dan hamba-hamba-Nya, yaitu subhanallah wabihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala puji bagi-Nya).” (HR Muslim).
4) Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa mengucapkan subhanallah wabihamdihi seratus kali dalam sehari, ia akan diampuni segala dosanya sekalipun dosanya itu sebanyak buih di laut.” (HR Muslim dan Tirmidzi)
5) Ibnu Umar ra meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw berkata kepada para sahabatnya, “Ucapkanlah subhanallah wa bihamdihi sebanyak seratus kali. Barangsiapa mengucapkannya satu kali maka tertulis baginya sepuluh kebaikan, barangsiapa mengucapkannya sepuluh kali maka tertulis baginya seratus kebaikan, barangsiapa mengucapkannya seratus kali maka tertulis baginya seribu kebaikan, barangsiapa menambahnya maka Allah pun akan menambahnya, dan barangsiapa memohon ampun, niscaya Allah akan mengampuninya.”
6) Dalam kitab “Syarhul Washiyah” diterangkan sebuah hadits mengenai keutamaan dzikir subhanallah wa bihamdihi. Dikatakan bahwa kalimat subhanallah wa bihamdihi adalah kalimat yang sangat dicintai Allah swt dan merupakan kalimat yang paling utama dari kalimat-kalimat lainnya.
Barangsiapa mengucapkannya maka akan tertulis baginya kebaikan yang banyak dan Allah akan menghapus dosa orang yang mengucapkannya walau dosa orang tersebut lebih banyak daripada buih yang ada di lautan.
7) Dalam musnad Imam Ahmad diceritakan bahwa ketika menjelang ajal Rasulullah saw, Beliau memanggil putrinya dan berkata, “Aku perintahkan engkau agar selalu mengucapkan subhanallah wa bihamdihi, karena kalimat tersebut merupakan doa seluruh makhluk dan dengan kalimat itulah semua makhluk mendapat limpahan rezeki.”
8) Abu Dzar berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw amal apakah yang paling dicintai Allah swt. Beliau menjawab, ‘Yang telah dipilih Allah untuk para Malaikat-Nya, yaitu subhanallah wa bihamdihi subhanallahil adzim.”
9) Diriwayatkan dalam “Shahih Bukhari” bahwa suatu ketika datang seorang lelaki mengeluhkan keadaannya kepada Rasulullah saw. Ia berkata, “Dunia ini telah berpaling dariku dan yang telah kuperoleh dari tanganku sangatlah sedikit.” Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah engkau tidak pernah membaca doanya para Malaikat dan tasbihnya seluruh makhluk yang dengan itu mereka mendapat limpahan rezeki?” Lelaki itu bertanya, “Doa apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “Subhanallah wa bihamdihi subhanallahil adzim, dan beristighfarlah kepada Allah sebanyak seratus kali diantara waktu terbitnya fajar hingga menjelang waktu shalatmu, dengan itu dunia akan tunduk dan merangkak mendatangimu, dan Allah menciptakan dari setiap kalimat tersebut Malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah hingga hari kiamat dan untukmu pahalanya.”
10) Dalam hadit riwayat Imam Muslim, zikir dengan ucapan lafal “ Subhanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi,wa ridhaka nafsihi, wa ziinata ‘Arsyihi, wa midada kalimatihi’(Maha Suci Allah dan segala puji bagiNya sebanyak bilangan makhlukNya, dan sebesar ridha diriNya, dan seberat ‘Arasy-Nya,dan sebanyak hitungan kalimatNya).’ (Hadis riwayat Muslim)
Sahabatku...Hadits-hadits di atas sudah cukup menunjukkan bobot yang dimiliki dalam kalimat “Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim” . Sebuah kalimat yang mudah untuk diucapkan maupun dihafal. Bahkan, bagi seorang muslim yang buta huruf juga sangat mudah untuk dipelajari.
Tidak menutup kemungkinan bahwa Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas beribadah kepada-Nya untuk dapat melakukan ibadah walaupun dengan kalimat yang ringan dan mudah untuk diucapkan.
Kalimat “Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim” merupakan kalimat yang penuh manfaat. Kandungan hikmah yang terdapat dalam lafal tersebut jika dibandingkan dengan apa pun tidak akan dapat tertandingi.

~ ISLAMIC UNITED

KONSEP TASAWUF SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

A. Pendahuluan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani. 

Namun, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, memilih kehidupan bersufi, seringkali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’ah, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam. Oleh karena banyak kalangan yang memandang tasawuf dan tarekat sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, melalui makalah sederhana ini, penulis akan mengulas ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang konsep akidah dan tasawufnya.

B. Biografi Singkat Abdul Qadir al-Jailani
Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Jankidous bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali r.a bin Abu Thalib. Ibunya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdillah ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. Untuk efektifitas penulisan, penulis menyebutnya dengan al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hamper lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.

Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.
Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, tarekat Qadiriyyah. Berkaitan dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata: “Tarekat beliau adalah tarekat yang dibenarkan oleh Syara’.”

Al-Jailani hidup di zaman kegairahan intelektual, tidak hanya di Baghdad saja, bahkan di seantero dunia Islam. Banyak ulama-ulama besar yang menuangkan pemikirannya dalam berbagai karya yang karyanya masih dapat dinikmati hingga hari ini. Di antara ulama yang hidup semasa dengan al-Jailani adalah, al-imam Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu Umar ibn Shalah, al-Ghazali, Umar Khayam, al-Qusyairi, Az-Zuzani, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang tokoh terkemuka, al-Jailani juga memiliki karya-karya sebagai penopang ajarannya itu. Di antara karya yang terkenal adalah; al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, kitab ini memaparkan secara ringkas fikih mazhab Imam Hanbali dan ajaran-ajarannya tentang akidah dan tasawuf; al-Fath ar-Rabbany, kitab ini berisi kumpulan nasihat bagi para murid dan guru sufi dan semua kalangan yang tertarik dengan jalan penyucian diri. Sesuai dengan judulnya, kitab ini hendak membawa pembacanya pada keuntungan dan manfaat spiritual yang sangat besar; dan Futuh al-Ghayb yang berisi kumpulan nasihat yang lebih lengkap dan mendalam dari kumpulan sebelumnya.

C. Pemurnian Tauhid dan Konsep Akidahnya
Kondisi sosial politik pada masa al-Jailani ditandai dengan kekacauan pemerintah dan kerusakan umat. Di mana-mana muncul kemunafikan, khurafat, dan bid’ah. Karena itulah, al-Jailani sangat lantang menyeru pada pemurnian tauhid dan menganggap remeh selain Allah. Ia pun secara tegas mengkritik para pembesar kerajaan, termasuk orang-orang gila harta.

Dalam hal ini, ia berkata:
"Kamu bersandar kepada dirimu dan semua makhluk, pada harta kekayaanmu, penguasa negerimu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak. Dan setiap orang yang kamu lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga akan rusak. Wahai hati yang mati! Wahai orang yang musyrik! Wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah, mereka itu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka bukan hamba-Nya".

Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awa,) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia.

Dalam melancarkan dakwah Islamnya, al-Jainlani lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang berlaku menuru syariat Allah. Sebab baginya Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan.

Langkah al-Jailani dalam menyeru umat sangat tepat. Sebab, di saat kekacauan umat sangat memuncak, maka gerakan tauhid dan kembali ke jalan Allah betul-betul diserukan dengan lantang. Sejalan dengan strategi dakwah al-Jailani, Isma’il Raji al-Faruqi, cendekiawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang ada. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondasi dari seluruh kesalehan, religiositas (keberagamaan), dan seluruh kebaikan. Dengan demikian sangat tepat apa yang diupayakan oleh al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan “usaha manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka.

Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendaat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutup pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala hikmahnya.

Mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an dan sunnah, al-Jailani mengimani sepenuhnya tanpa melakukan takwil. Tidak seperti apa yang dilakukan oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Mu’tazilah. Baginya, apa yang diberitakan oleh al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah itulah yang benar, seperti Dia lah Yang menahan dan memberi, Yang membuat tertawa dan gembira, Yang murka dan Yang marah, Yang mengasihi dan mengampuni. Dia memiliki tangan dan Yang bersemayam (istiwa) di atas Arsy.

D. Konsep Tasawuf al-Jailani
Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini.

(1) Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya.

(2) Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria.

(3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah.

(4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti hikmah.

Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.

Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.

Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.

Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)

Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.

Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)

Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)

Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.

Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya.

Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”

Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.

E. Penutup
Dari ulasan singkat di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsepsi tasawuf al-Jailani adalah konsepsi tasawuf yang dilandasi al-Qur’an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jama’ah. Untuk ikut serta menceburkan diri dalam dunia tasawuf, seseorang harus menjalankan apa-apa yang telah disyari’atkan Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad saw dengan sungguh-sungguh dan konsisten.


DAFTAR PUSTAKA.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, 1903, Ghutbah an-Nadzir fi Tarjamah asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Calcuta: Baptist Mission Press.
Al-Barzanjy, Ja’far bin Hasan, tt, Lujain ad-Daniy fi Manaqib al-Quthb ar-Rabbany asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Semarang: al-’Alawiyah.
Al-Faruqi, Ism’ail Raji, 1988, Tauhid, Bandung: Pustaka.
Al-Jailani Abdul Qadir, 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. I, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab.
......................., 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. II, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab.
......................., tt, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany, Kairo: Dar ar-Rayyan li at-Turats.
………………, tt, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah.
Al-Maghriby, Ali ‘Abd al-Fatah, 1995, al-Firaq al-kalamiyah al-Islamiyah: Madkhal wa Dirasah, al-Qahirah: Maktabah Wahbah.
Al-Qahthaniy, Sa’id, 1997, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy wa Araa’uhu al-I’tiqadiyyah wa ash-Shufiyah, Madinah: Jami’ah Umu al-Qurra.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim, 1989, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Qahirah: Dar asy-Sya’b.
Arif, Syamsuddin, 2006, Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme, dalam Islamia, Vol III No. 1.
......................., 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani.
Az-Zunaidy, Abdurrahman, 1998, Manahij al-Bahts fi al-‘Aqidah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadhir, Riyadh: Dar Asbiliya.
Hasyim, Yahya, 2007, Tajdid al-Manhaj fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, Qahirah: Dar al-Afaaq al-‘Arabiyah.
Madkur, Ibrahim, 1976, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Mujib, M. Abdul, dkk. 2009, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan, Jakarta: Hikmah, 2009.
Rahman, Fazlur, 2003 Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003
Solikhin, Muhammad, 2009, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Mutiara Media.
Zaidan, Yusuf Muhammad Thaha, tt, ‘Abdul Qadir al-Jailany Baz Allah al-Asyhab, Beirut: Dar al-Jayl.
Zainuddin, M., 2011, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren..
Zarkasy, Amal Fathullah, 2006, ‘Ilmu Kalam: Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah wa Qadhayaha al-Kalamiyah, Ponorogo: Jami’ah Darussalam