Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama
Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi
Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di
samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk
mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang
kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus
diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah
kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada
Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana
dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani
dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari
Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561
H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi
Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di
Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan
menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang
menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar
sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535
H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab
pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir
Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu
dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan
Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir,
India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat
ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang
setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani.
Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua).
Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang
lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi
mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat
yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang
berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah
(1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di
India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631
M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,
Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan
di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan
tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir
Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah
keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada
tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada
Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah
menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan
mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus
mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian
diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa
Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah
contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi
Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai
melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh),
diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga
kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar
shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita
harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan
dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan
merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia
kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari
sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat
mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki
keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai
ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat
Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid,
ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran
sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli
adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi
Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh
Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli
berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti
pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua
rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk
bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz
Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan
dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan
kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid
tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat
sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan
bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu
berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang
keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga
memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah,
sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan
ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan
itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan
dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada
mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna
semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam.
Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa
dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya
menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat,
sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu
harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus
mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti
terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di
dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di
Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar
ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren
Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa
Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas
yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran
tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah
pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama
ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie
Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan
bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan
lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat
dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan
yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19
dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena
pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan
(Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat
Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah
pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891
pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat
(NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan
Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat
Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri
di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah
Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab
Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di
Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya
menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali
ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh
Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas
ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso
Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim
dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di
Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil,
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas
ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11.
Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16.
Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21.
Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said
Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi,
27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim
al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan
Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad
al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn
Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah
Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang
disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di
antara para kiai itu sendiri.
Sumber: http://sufinews.com/
Tarekat Qodiriyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin
Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang
dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang
tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah
berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13,
tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang
lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka
dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika di antaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.
[Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh
Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad
Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin
dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf
Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran
tarekat ini di daerah masing-masing.
Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.
Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh
Tolhah bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon.
Selanjutnya Dia disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah
Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok
bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren
Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun ,dia mendapat
khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal ) Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin
( dalam silsilah urutan ke 35 ). Selanjutnya Pondok Pesantren suryalaya menjadi
tempat bertanya tentang Thoreqat Qodiriyah Naqsabandiyah.
Dengan demikian , Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra. dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke 36 setelah Syaikh Tholhah bin Talabudin ra.
Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan
(murid-muridnya) lebih dikenal dengan panggilan "Abah Sepuh".karena
usia dia memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di
antara murid-murid dia ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk
melanjutkan kepemimpinan dia. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5
yaitu KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan
sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian dia, oleh karena
itu para ikhwan tarekat memanggil dia "Abah Anom " (Kyai Muda) karena
usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad
sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok
Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin ( Abah
Anom) sampai sekarang, dia mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan
tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Islam di Indonesia
Wali Songo
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
Allah-green.svg Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda
dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan