Sabtu, 10 Januari 2015

Menghidupkan Jiwa dengan Dzikir dan Fikir

Oleh : Drs. H. Amir, M.Pd*

Secara bahasa an-nafs bererti jiwa atau ruh, sementara Al-Qur’an sendiri mengisaratkan bahawa Ruh berbeda dengan jiwa. Ruh dirahasiakan oleh Allah dan menjadi urusan-Nya, dalam arti tidak ada petunjuk sama sekali wujud, bentuk, dan sifat-sifatnya. Tidak seperti halnya jiwa yang berulang kali di dalam Al-Quran disebutkan sifatnya yang tenang, marah, menyesali, kotor, merasakan hukuman. Ruh benar-benar suci dari sifat-sifat manusia, ia adalah bagian dari Sang Pencipta sendiri, oleh karenanya ia memiliki sifat Sang Pencipta, Pengasih, Penyayang, Penyantun, dll. Ruh mengajak jiwa ke jalan yang diridloi oleh Allah, sehingga jiwa yang dikuasai oleh ruh disebut sebagai Jiwa yang tenang /  nafsu mutmainah

Jiwa berulang kali disebut sebagai  nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu mutmainah. Jiwa adalah yang menghidupkan jasad dan panca indra, selain itu manusia juga diberi akal, dan ujian terbesar manusia adalah hawa nafsu. Dalam bahasa Indonesia kata nafsu lebih ke arah keinginan yang bersifat negative yang kita kenal dengan hawa nafsu. Betapapun bejatnya seseorang ruh selalu suci dan tidak pernah kotor, karena ia adalah milik Sang Maha Hidup. Ruh selalu mengajak kepada jalan yang diridloi Allah. Panca Indra ruh adalah hati/Qolbu. Maka saat seseorang mengatakan hati nurani, maka sesungguhnya ruhnya sedang berbicara dan mengajak kepada kebenaran. Ruh menjadi tidak berfungsi atau seakan mati saat ia selalu mengikuti hawa nafsu, atau hawa nafsu yang mengendalikan jiwa. Saat hawa nafsu sebagai pengendali maka ia akan menutupi ruh tadi.

Ruh, jiwa, akal, nafsu, semua saling terkait, selama seorang manusia hidup ke empat komponen utama ini saling berusaha untuk mendominasi. Saat seseorang dikuasai oleh hawa nafsunya, maka orang itu akan membawa kerusakan kepada alam semesta. Saat orang memuja akalnya maka ia sangat bergantung pada lingkungan yang membesarkannya, akal akan menyebabkan seseorang kepada jiwa yang bimbang nafsu lawamah kadang baik kadang sesat. Sedangkan orang yang mengedepankan ruhnya, maka sesungguhnya nafsu, akal dan jiwa akan mengikutinya menuju kepada Tuhannya.
Pengendalian terhadap hawa nafsu adalah kunci dalam meraih kebahagiaan hakiki. Hawa nafsu, adalah keinginan atau kehendak negatif yang ada pada jiwa dan raga manusia untuk melakukan hal-hal yang melanggar syariatNya. Sebagaimana disitir oleh Nabi Yusuf, maka sesungguhnya  hawa nafsu memang selalu mengajak kepada perilaku keburukan.

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang (QS Yusuf : 53).

Bagaimana cara menghidupkan jiwa ?

Allah menyuruh kita agar bertanya kepada ahlinya jika tidak memahaminya. “…maka bertanyalah kepada ahli dzikir  jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43)

 Pada dasarnya manusia mahluk yang sempurna seperti firman Allah:  "Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya". Hadis Qudsi,firmanNya:  "Sesungguhnya manusia itu rahasia-Ku dan Akulah yang menjadi rahasianya. Dan rahasia itu sifat-Ku dan sifat-Ku tiada lain, Aku lah jua".

Dalam hadis Qudsi yang lain  "Akulah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin supaya dikenali(dimakrifati), maka Aku jadikan alam ini, maka mereka makrifat kepada-Ku". FirmanNya lagi:  "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu (manusia) memulangkan amanah kepada yang berhak (Allah)"

Jadi taraf kemuliaan sesorang hamba Allah itu adalah bergantung sejauh mana taraf makrifatnya kepada Allah. Sekiranya kita mampu mencapai tahap sebenar-benar makrifat jadilah kita sebaik-baik makhluk sebagaimana firmanNya:  "Sesungguhnya yang beriman dan beramal soleh, mereka itu adalah sebaik baik makhluk"

            Tapi sebaliknya sekiranya kita gagal untuk mengembalikan amanah untuk makrifat maka jadilah kita sebagai mana yang di firmankan olehNya "Kemudian Kami kembalikan dia di tempat yang serendah-rendahnya". Dan firmanNya lagi: "Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk". Baik buruknya manusia adalah bergantung kepada tahap-tahap kesucian batinnya atau nafsunya

Keseimbangan dzikir dan fikir

Keseimbangan antara dzikir dan fikir adalah kunci manusia dalam menjalankan tugas ke khalifaannya, dengan dzikir kita menemukan tujuan akhir dari apa yang akal fikirkan terarah pada rasa kemanusiaan dan kealaman. Disamping sebagai hamba Allah yang bertauhid dengan sebenar-benarnya, juga karena manusia adalah perpanjangan tangan Tuhan dalam mengurus bumi dan nanti akan diminta pertanggung jawaban.

Dzikir yang diucapkan tembus ke pusat ruh yaitu Qalbu, kalau tidak ia hanya akan menjadi gelombang-gelombang suara yang lepas mengembara di angkasa tanpa menembus alam lâhût dan `arasy Allah. Untuk menembuskannya, saat mulut melafazhkan kalimat Lâ-ilâha-illa-llâh kita jalarkan kalimat tersebut pada titik-titik sensor.

Semua itu dilakukan dengan hentakan yang kuat (dharban) kedalam tubuh hingga terasakan kedalam ruh/jiwa orang yang melakukannya. Lakukan itu berulang-ulang, sebanyak-banyaknya “…dzikirkan olehmu Allah sebanyak-banyaknya.” (QS. 33:41)

Dalam melakukannya jangan gunakan fikiran, tapi gunakan rasa, karena berdzikir memang bukan berfikir. Allah swt tegas membedakan dzikir dengan fikir di dalam QS. Ali Imran 3:191. Sekali lagi: rasakan, jangan fikirkan!

Wilayah fikir adalah apa yang dijangkau oleh logika. Akal salah satu sarana untuk mengenal Allah. Fungsi akal adalah untuk berpikir dan merenung. Apa yang direnungkan terkait dengan kajian Ilmu Tauhid (Ke-Esa-an Allah Swt.) dan berdampingan dengan pembahasan mengenai Ma’rifatul Insan (mengenal manusia). Seseorang yang memperhatikan ayat-ayat Al Qur'an akan menemukan, bahwa banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an tersebut yang menggugah akal untuk berpikir dan merenung, sehingga sampai pada hakekat kebenaran yang tidak diragukan lagi. Diharapkan nalar akal yang berfungsi seseorang  menguasai kajian-kajian tersebut, sehingga ia mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki Nya menurut apa yang disukai Nya.

Pentingnya berma’rifat dengan fikiran, seseoarang  mengenal Allah SWT akan tahu tujuan hidupnya, tujuan mengapa ia diciptakan dan untuk apa ia berada di atas dunia ini. Oleh sebab itu ia tidak akan tertipu oleh kemilaunya dunia, tidak akan terpedaya oleh harta benda dunia. Sebaliknya seseorang yang tidak mengenal Allah, tentu ia akan terpedaya dan terpukau oleh indahnya dunia (QS 6:130), yang pada gilirannya ia habiskan umurnya untuk mencari dunia, menikmatinya, layaknya seperti binatang saja (QS 47:12).

------------0-----------
Akhirnya mari kita renungkan seruan ilahi “ sembahlah Allah sehingga timbul keyakinan. Tumbuhnya suatu keyakinan yang sesungguhnya atau haqqul yakin manakala terjadi pertemuan antara dzikir dan fikir. Ketika dzikir qalbu berjabat tangan melakukan kolaborasi daya fikir akal menuju titik sentral ma’rifatullah,  maka  kekuatan, taufiq dan hidayah Allah sedang bekerja, jika demikian siapakah yang mampu mengungguli kesempurnaanya ? insya Alllah insan kamil, amien.  Wallahu a’lam.

* Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Malang    
http://buletinalikhbar.blogspot.com/p/menghidupkan-jiwa-dengan-d

Tiada ulasan:

Catat Ulasan