Oleh : Drs. H. Amir, M.Pd*
Secara bahasa an-nafs bererti jiwa atau ruh, sementara
Al-Qur’an sendiri mengisaratkan bahawa Ruh berbeda dengan jiwa. Ruh
dirahasiakan oleh Allah dan menjadi urusan-Nya, dalam arti tidak ada petunjuk
sama sekali wujud, bentuk, dan sifat-sifatnya. Tidak seperti halnya jiwa yang
berulang kali di dalam Al-Quran disebutkan sifatnya yang tenang, marah,
menyesali, kotor, merasakan hukuman. Ruh benar-benar suci dari sifat-sifat
manusia, ia adalah bagian dari Sang Pencipta sendiri, oleh karenanya ia
memiliki sifat Sang Pencipta, Pengasih, Penyayang, Penyantun, dll. Ruh mengajak
jiwa ke jalan yang diridloi oleh Allah, sehingga jiwa yang dikuasai oleh ruh
disebut sebagai Jiwa yang tenang / nafsu
mutmainah
Jiwa berulang kali disebut sebagai nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu mutmainah.
Jiwa adalah yang menghidupkan jasad dan panca indra, selain itu manusia juga
diberi akal, dan ujian terbesar manusia adalah hawa nafsu. Dalam bahasa
Indonesia kata nafsu lebih ke arah keinginan yang bersifat negative yang kita
kenal dengan hawa nafsu. Betapapun bejatnya seseorang ruh selalu suci dan tidak
pernah kotor, karena ia adalah milik Sang Maha Hidup. Ruh selalu mengajak
kepada jalan yang diridloi Allah. Panca Indra ruh adalah hati/Qolbu. Maka saat
seseorang mengatakan hati nurani, maka sesungguhnya ruhnya sedang berbicara dan
mengajak kepada kebenaran. Ruh menjadi tidak berfungsi atau seakan mati saat ia
selalu mengikuti hawa nafsu, atau hawa nafsu yang mengendalikan jiwa. Saat hawa
nafsu sebagai pengendali maka ia akan menutupi ruh tadi.
Ruh, jiwa, akal, nafsu, semua saling terkait, selama seorang
manusia hidup ke empat komponen utama ini saling berusaha untuk mendominasi.
Saat seseorang dikuasai oleh hawa nafsunya, maka orang itu akan membawa
kerusakan kepada alam semesta. Saat orang memuja akalnya maka ia sangat
bergantung pada lingkungan yang membesarkannya, akal akan menyebabkan seseorang
kepada jiwa yang bimbang nafsu lawamah kadang baik kadang sesat. Sedangkan
orang yang mengedepankan ruhnya, maka sesungguhnya nafsu, akal dan jiwa akan
mengikutinya menuju kepada Tuhannya.
Pengendalian terhadap hawa nafsu adalah kunci dalam meraih
kebahagiaan hakiki. Hawa nafsu, adalah keinginan atau kehendak negatif yang ada
pada jiwa dan raga manusia untuk melakukan hal-hal yang melanggar syariatNya.
Sebagaimana disitir oleh Nabi Yusuf, maka sesungguhnya hawa nafsu memang selalu mengajak kepada
perilaku keburukan.
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang (QS Yusuf : 53).
Bagaimana cara menghidupkan jiwa ?
Allah menyuruh kita agar bertanya kepada ahlinya jika tidak
memahaminya. “…maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43)
Pada dasarnya manusia
mahluk yang sempurna seperti firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dengan bentuk yang
sebaik-baiknya". Hadis Qudsi,firmanNya:
"Sesungguhnya manusia itu rahasia-Ku dan Akulah yang menjadi
rahasianya. Dan rahasia itu sifat-Ku dan sifat-Ku tiada lain, Aku lah
jua".
Dalam hadis Qudsi yang lain
"Akulah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin supaya
dikenali(dimakrifati), maka Aku jadikan alam ini, maka mereka makrifat kepada-Ku".
FirmanNya lagi: "Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu (manusia) memulangkan amanah kepada yang berhak
(Allah)"
Jadi taraf kemuliaan sesorang hamba Allah itu adalah
bergantung sejauh mana taraf makrifatnya kepada Allah. Sekiranya kita mampu
mencapai tahap sebenar-benar makrifat jadilah kita sebaik-baik makhluk
sebagaimana firmanNya:
"Sesungguhnya yang beriman dan beramal soleh, mereka itu adalah
sebaik baik makhluk"
Tapi
sebaliknya sekiranya kita gagal untuk mengembalikan amanah untuk makrifat maka
jadilah kita sebagai mana yang di firmankan olehNya "Kemudian Kami
kembalikan dia di tempat yang serendah-rendahnya". Dan firmanNya lagi:
"Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk". Baik buruknya manusia
adalah bergantung kepada tahap-tahap kesucian batinnya atau nafsunya
Keseimbangan dzikir dan fikir
Keseimbangan antara dzikir dan fikir adalah kunci manusia
dalam menjalankan tugas ke khalifaannya, dengan dzikir kita menemukan tujuan
akhir dari apa yang akal fikirkan terarah pada rasa kemanusiaan dan kealaman.
Disamping sebagai hamba Allah yang bertauhid dengan sebenar-benarnya, juga
karena manusia adalah perpanjangan tangan Tuhan dalam mengurus bumi dan nanti
akan diminta pertanggung jawaban.
Dzikir yang diucapkan tembus ke pusat ruh yaitu Qalbu, kalau
tidak ia hanya akan menjadi gelombang-gelombang suara yang lepas mengembara di
angkasa tanpa menembus alam lâhût dan `arasy Allah. Untuk menembuskannya, saat
mulut melafazhkan kalimat Lâ-ilâha-illa-llâh kita jalarkan kalimat tersebut
pada titik-titik sensor.
Semua itu dilakukan dengan hentakan yang kuat (dharban)
kedalam tubuh hingga terasakan kedalam ruh/jiwa orang yang melakukannya.
Lakukan itu berulang-ulang, sebanyak-banyaknya “…dzikirkan olehmu Allah
sebanyak-banyaknya.” (QS. 33:41)
Dalam melakukannya jangan gunakan fikiran, tapi gunakan
rasa, karena berdzikir memang bukan berfikir. Allah swt tegas membedakan dzikir
dengan fikir di dalam QS. Ali Imran 3:191. Sekali lagi: rasakan, jangan
fikirkan!
Wilayah fikir adalah apa yang dijangkau oleh logika. Akal
salah satu sarana untuk mengenal Allah. Fungsi akal adalah untuk berpikir dan
merenung. Apa yang direnungkan terkait dengan kajian Ilmu Tauhid (Ke-Esa-an
Allah Swt.) dan berdampingan dengan pembahasan mengenai Ma’rifatul Insan
(mengenal manusia). Seseorang yang memperhatikan ayat-ayat Al Qur'an akan
menemukan, bahwa banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an tersebut yang menggugah akal
untuk berpikir dan merenung, sehingga sampai pada hakekat kebenaran yang tidak
diragukan lagi. Diharapkan nalar akal yang berfungsi seseorang menguasai kajian-kajian tersebut, sehingga ia
mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai
dengan apa yang dikehendaki Nya menurut apa yang disukai Nya.
Pentingnya berma’rifat dengan fikiran, seseoarang mengenal Allah SWT akan tahu tujuan hidupnya,
tujuan mengapa ia diciptakan dan untuk apa ia berada di atas dunia ini. Oleh
sebab itu ia tidak akan tertipu oleh kemilaunya dunia, tidak akan terpedaya
oleh harta benda dunia. Sebaliknya seseorang yang tidak mengenal Allah, tentu
ia akan terpedaya dan terpukau oleh indahnya dunia (QS 6:130), yang pada
gilirannya ia habiskan umurnya untuk mencari dunia, menikmatinya, layaknya
seperti binatang saja (QS 47:12).
------------0-----------
Akhirnya mari kita renungkan seruan ilahi “ sembahlah Allah
sehingga timbul keyakinan. Tumbuhnya suatu keyakinan yang sesungguhnya atau
haqqul yakin manakala terjadi pertemuan antara dzikir dan fikir. Ketika dzikir
qalbu berjabat tangan melakukan kolaborasi daya fikir akal menuju titik sentral
ma’rifatullah, maka kekuatan, taufiq dan hidayah Allah sedang
bekerja, jika demikian siapakah yang mampu mengungguli kesempurnaanya ? insya
Alllah insan kamil, amien. Wallahu
a’lam.
* Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Malang
http://buletinalikhbar.blogspot.com/p/menghidupkan-jiwa-dengan-d
Tiada ulasan:
Catat Ulasan