A. Pendahuluan
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh
besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan
al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang
dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan
paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang
benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat
muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyyah pernah memuji
manhaj akidahnya al-Jailani.
Namun, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, memilih kehidupan bersufi,
seringkali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran
tasawuf oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal
dari Islam, sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’ah,
takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab
kemunduran sains Islam. Oleh karena banyak kalangan yang memandang tasawuf dan
tarekat sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, melalui makalah sederhana
ini, penulis akan mengulas ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang konsep
akidah dan tasawufnya.
B. Biografi Singkat Abdul Qadir
al-Jailani
Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin
Abu Shalih Musa Jankidous bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan
al-Mutsanna bin Hasan bin Ali r.a bin Abu Thalib. Ibunya Syarifah Fatimah binti
Sayid Abdillah ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid
Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin
Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far
ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain
bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. Untuk efektifitas penulisan, penulis
menyebutnya dengan al-Jailani.
Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri
tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077
M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa
bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik
dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia
digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas.
Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hamper lupa akan
kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau
menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani
empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.
Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu
Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu
Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para
ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan
al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin
al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim
ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu
Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s.
selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya
makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga
dinyatakan lulus belajarnya.
Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan
dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami
menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah
banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada
tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam
mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, tarekat Qadiriyyah. Berkaitan
dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata: “Tarekat beliau adalah tarekat yang
dibenarkan oleh Syara’.”
Al-Jailani hidup di zaman kegairahan intelektual, tidak hanya di Baghdad saja,
bahkan di seantero dunia Islam. Banyak ulama-ulama besar yang menuangkan
pemikirannya dalam berbagai karya yang karyanya masih dapat dinikmati hingga
hari ini. Di antara ulama yang hidup semasa dengan al-Jailani adalah, al-imam
Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu Umar ibn Shalah, al-Ghazali, Umar
Khayam, al-Qusyairi, Az-Zuzani, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang tokoh terkemuka, al-Jailani juga memiliki karya-karya sebagai
penopang ajarannya itu. Di antara karya yang terkenal adalah; al-Ghunyah li
Thalib Thariq al-Haqq, kitab ini memaparkan secara ringkas fikih mazhab Imam
Hanbali dan ajaran-ajarannya tentang akidah dan tasawuf; al-Fath ar-Rabbany,
kitab ini berisi kumpulan nasihat bagi para murid dan guru sufi dan semua
kalangan yang tertarik dengan jalan penyucian diri. Sesuai dengan judulnya,
kitab ini hendak membawa pembacanya pada keuntungan dan manfaat spiritual yang
sangat besar; dan Futuh al-Ghayb yang berisi kumpulan nasihat yang lebih
lengkap dan mendalam dari kumpulan sebelumnya.
C. Pemurnian Tauhid dan Konsep Akidahnya
Kondisi sosial politik pada masa al-Jailani ditandai dengan kekacauan
pemerintah dan kerusakan umat. Di mana-mana muncul kemunafikan, khurafat, dan
bid’ah. Karena itulah, al-Jailani sangat lantang menyeru pada pemurnian tauhid
dan menganggap remeh selain Allah. Ia pun secara tegas mengkritik para pembesar
kerajaan, termasuk orang-orang gila harta.
Dalam hal ini, ia berkata:
"Kamu bersandar kepada dirimu dan semua makhluk, pada harta kekayaanmu,
penguasa negerimu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak. Dan setiap
orang yang kamu lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga akan rusak. Wahai
hati yang mati! Wahai orang yang musyrik! Wahai para penyembah berhala,
penyembah kehidupan dan harta, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah,
mereka itu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa
bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka bukan hamba-Nya".
Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai
pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada
berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu
yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan
menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup
bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan
bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan.
Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awa,) adalah
menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana
dunia.
Dalam melancarkan dakwah Islamnya, al-Jainlani lebih menitik beratkan kepada
Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak
ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman
memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang
berlaku menuru syariat Allah. Sebab baginya Iman adalah ucapan dengan lisan,
keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi
kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan.
Langkah al-Jailani dalam menyeru umat sangat tepat. Sebab, di saat kekacauan
umat sangat memuncak, maka gerakan tauhid dan kembali ke jalan Allah
betul-betul diserukan dengan lantang. Sejalan dengan strategi dakwah
al-Jailani, Isma’il Raji al-Faruqi, cendekiawan muslim kontemporer, mengatakan
bahwa esensi peradaban Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang
menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa
segala yang ada. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondasi dari
seluruh kesalehan, religiositas (keberagamaan), dan seluruh kebaikan. Dengan
demikian sangat tepat apa yang diupayakan oleh al-Jailani.
Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan
aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan,
metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah
menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih.
Dalam permasalahan “usaha manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan
pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba
itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang
buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan
berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan
dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja
sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya
adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah
bahwa perbuatan itu karena usaha mereka.
Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendaat bahwa manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan
dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada
nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti
Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh
karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutup pemikiran yang ekstrim.
Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika
takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih
mengetahui segala hikmahnya.
Mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an dan sunnah,
al-Jailani mengimani sepenuhnya tanpa melakukan takwil. Tidak seperti apa yang
dilakukan oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Mu’tazilah. Baginya, apa
yang diberitakan oleh al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah itulah yang benar,
seperti Dia lah Yang menahan dan memberi, Yang membuat tertawa dan gembira,
Yang murka dan Yang marah, Yang mengasihi dan mengampuni. Dia memiliki tangan
dan Yang bersemayam (istiwa) di atas Arsy.
D. Konsep Tasawuf al-Jailani
Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh
orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf
ini.
(1)
Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid
Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya
seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya.
(2)
Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang
umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria.
(3)
Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya
seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah.
(4)
Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti
hikmah.
Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna
suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara
sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam
tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak
menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan
diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya
dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan
makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu
selain dari Allah.
Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap
praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi
adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak
meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah.
Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan,
dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi
al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan
Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.
Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan
tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf
pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa
khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini
meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud
dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan
ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan
tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian
diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan
hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening.
Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan
shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari
sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan
minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain
lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan
memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada
tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka
bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu
selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui
lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka,
sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening
yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian
seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)
Artinya:
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan)
di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang
demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya
dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya
bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata:
“…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan,
dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran
Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia
dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan
kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka
ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.
Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur
ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan
pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang
didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya
kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba
dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal
di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta
pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih
hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan
amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu
semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang
keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)
Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk
maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi,
namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara
harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati
tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati
dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi
dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup
mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati
keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga
membuat lupa kepada penciptanya.
Mengenai
permasalahan ini al-Jailani berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia.
Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu
diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia,
karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”
Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap
harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya
seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang
kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai
dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan,
“Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang
kafir.”
Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang
keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan
sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia
sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat.
Sebagaimana firmanNya:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
28:77)
Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi
oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi
sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di
antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah
cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya”
Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at
dengan istiqamah.
E. Penutup
Dari ulasan singkat di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsepsi tasawuf
al-Jailani adalah konsepsi tasawuf yang dilandasi al-Qur’an dan Hadits, dan
berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jama’ah. Untuk ikut serta
menceburkan diri dalam dunia tasawuf, seseorang harus menjalankan apa-apa yang
telah disyari’atkan Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad saw dengan sungguh-sungguh
dan konsisten.
DAFTAR PUSTAKA.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, 1903, Ghutbah an-Nadzir fi Tarjamah asy-Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, Calcuta: Baptist Mission Press.
Al-Barzanjy, Ja’far bin Hasan, tt, Lujain ad-Daniy fi Manaqib al-Quthb
ar-Rabbany asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Semarang: al-’Alawiyah.
Al-Faruqi, Ism’ail Raji, 1988, Tauhid, Bandung: Pustaka.
Al-Jailani Abdul Qadir, 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. I,
Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab.
......................., 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. II,
Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab.
......................., tt, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany, Kairo:
Dar ar-Rayyan li at-Turats.
………………, tt, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah.
Al-Maghriby, Ali ‘Abd al-Fatah, 1995, al-Firaq al-kalamiyah al-Islamiyah:
Madkhal wa Dirasah, al-Qahirah: Maktabah Wahbah.
Al-Qahthaniy, Sa’id, 1997, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy wa Araa’uhu
al-I’tiqadiyyah wa ash-Shufiyah, Madinah: Jami’ah Umu al-Qurra.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim, 1989, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Qahirah: Dar
asy-Sya’b.
Arif, Syamsuddin, 2006, Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme, dalam Islamia,
Vol III No. 1.
......................., 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta:
Gema Insani.
Az-Zunaidy, Abdurrahman, 1998, Manahij al-Bahts fi al-‘Aqidah al-Islamiyah fi
al-‘Ashr al-Hadhir, Riyadh: Dar Asbiliya.
Hasyim, Yahya, 2007, Tajdid al-Manhaj fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, Qahirah: Dar
al-Afaaq al-‘Arabiyah.
Madkur, Ibrahim, 1976, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, Kairo: Dar
al-Ma’arif.
Mujib, M. Abdul, dkk. 2009, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali: Mudah
memahami dan Menjalankan, Jakarta: Hikmah, 2009.
Rahman, Fazlur, 2003 Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003
Solikhin, Muhammad, 2009, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani, Yogyakarta: Mutiara Media.
Zaidan, Yusuf Muhammad Thaha, tt, ‘Abdul Qadir al-Jailany Baz Allah al-Asyhab,
Beirut: Dar al-Jayl.
Zainuddin, M., 2011, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren..
Zarkasy, Amal Fathullah, 2006, ‘Ilmu Kalam: Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah wa
Qadhayaha al-Kalamiyah, Ponorogo: Jami’ah Darussalam